“Gak ada masalah neng..Jangankan beda suku, dalam satu suku saja setiap orang
punya karakter yang berbeda-beda, bahkan orang kembar pun pasti punya perbedaan.
Sama-sama ciptaan Allah :) “
Kalimat itu yang pernah dikatakan oleh seorang teman ketika
saya tanyakan pendapatnya soal stigma-stigma yang banyak muncul terhadap
suku-suku tertentu. Kalimat ini selalu melekat di pikiran saya, karena kalimat
ini yang sudah membuat semangat dan kepercayaan diri saya muncul lagi.
Saya terlahir sebagai gadis berdarah Minang, Papa saya asli
dari Pariaman dan mama dari Padang Panjang tapi ada campuran darah melayu dari
Atok. Walaupun saya berdarah Minang tapi saya tidak bisa lancar berbahasa
Minang, saya juga tidak begitu mengerti sejarah adat istiadat Minang, padahal
Papa saya seorang Datuk (kepala adat dari suatu suku di Sumatra Barat), hehee :D
Walaupun Papa seorang Datuk, Papa tidak pernah memaksakan
anaknya harus tau semua soal Minang, tidak juga mengajarkan pada saya bahwa Suku
Minang adalah yang paling bagus. Di rumah juga kami berkomunikasi pake bahasa
Indonesia. Jadi dari kecil bisa dibilang saya sangat Nasionalis, hohooo..
Ajaran dari orangtua ini yang membuat saya terbiasa menerima
segala perbedaan. Sejak SD saya sudah
merasakan berada di tempat yang plural. Sejak SD hingga SMP saya sekolah di
sekolah Katolik yang mana saya menjadi minoritas di sana. Tapi saya
menikmatinya, bahkan saya merasakan toleransi yang tinggi dari teman-teman saya
yang berbeda agama, suku bahkan etnis. Waktu SMA saya bertemu dengan
teman-teman yang lebih plural lagi, dari berbagai daerah di Indonesia. Kami
saling mengerti, kami bersatu dan tidak pernah merasa ada masalah dengan suku.
Trus ada masalah apa dengan suku?
Ya, setahun belakangan ini saya sangat sensitive dengan
masalah suku. Saya merasakan bagaimana dianggap jelek dan tidak baik hanya
karena saya orang Minang. Saya merasakan ada seorang Ibu, yang belum pernah
sama sekali bertemu dengan saya, tidak
rela anaknya berhubungan dengan saya hanya karena saya orang Minang. Dan hal itu tidak hanya terjadi sekali.
Ada apa dengan orang Minang? Apakah orang Minang harus
menikah dengan orang Minang dan orang Jawa harus menikah dengan Orang Jawa?
Bukankah akan lebih baik jika 2 suku yang berbeda itu disatukan dan menciptakan
akulturasi budaya dalam sebuah keluarga? Yang prinsip dan penting sehingga harus sama kan hanya
keyakinan atau agama.
Oke, kembali ke pernyataan teman saya tadi, kita semua
sama-sama ciptaan Allah. Suku apa pun kita, tetap sama di mata Allah yang berbeda
adalah bagaimana kita berusaha mencapai Ridho-Nya. Tidak masalah saya terlahir
sebagai orang Minang dan dianggap jelek, yang penting bagaimana Allah sayang dan
Ridho sama saya. Untuk masalah jodoh? Pasti sudah disiapkan Allah yang terbaik.
Dari suku mana pun gak masalah yang penting Allah Ridho :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar